Minggu, 27 Januari 2008

Tempe

Sumber: Putu Setia (PS) dari Koran Tempo Edisi Minggu, 27 Januari 2008.

Saya dalam tulisan ini adalah penulis asli = Putu Setia (PS)

Jangan mau menjadi "bangsa tempe". Begitu seorang pemimpin di masa lalu berseru sambil mengacungkan tangan. Saya (PS) yang masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama--berbaju lusuh tanpa alas kaki--menyambut acungan tangan itu dengan teriakan "ganyang kapitalisme dan imperialisme". Saya tak berhasil mengingat apakah saat itu saya tahu arti kapitalisme dan imperialisme. Tapi kata "ganyang" saya tahu artinya, banyak sekali yang harus "diganyang": ada Malaysia, Inggris, Amerika, belum lagi "nekolim" yang kalau tak salah akronim dari neokolonialisme dan imperialisme. Saya baru saja dijadikan anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia.

Saya tak bermaksud menyoroti suasana politik di masa itu. Saya betul-betul hanya mau menyoroti soal tempe. Ketika itu, dasawarsa 1960-1970, sawah saya di kampung masih ditanami kedelai. Separuh tahun ditanami padi, separuh tahun ditanam palawija, khususnya kedelai. Sawah-sawah lainnya juga begiut. Kedelai jadi produk pertanian yang penting. Setelah panen, kedelai bisa direbus untuk camilan, bisa dijadikan sayur, selebihnya dijual kepada juragan lalu dibawanya ke kota untuk dijadikan tempe. Setelah jadi tempe, dibawa lagi ke desa. Tempe betul-betul makanan rakyat jelata, orang-orang yang kalah bersaing dalam hal apa pun. Karena itu, para pemimpin partai--yang hampir tiap hari berkeliling desa dan dekolah--selalu berpidato: jangan menjadi rakyat jelata, jangan kalah bersaing, jangan jadi "bangsa tempe", bangkitlah kamu marhaen..., dan seterusnya.

Suasana politik berubah. Suasana sawah juga berubah. Sekarang sawah-sawah tidak lagi ditanami kedelai. Adapun tempe masih ada di pasar, baik di pasar tradisional yang becek maupun di pasar swalayan yang berlantai marmer. Tempe tak hanya jadi konsumsi "orang-orang kecil" (tukang ojek, kuli bangunan, dan sebangsanya), tapi juga dimakan "orang-orang besar". Saya sendiri, sebagai penganut vegetarian yang ketat, tak bisa lepas dari tempe dan tahu, lebih sering membeli di pasar yang becek. Belum lagi adanya tren minum susu kedelai yang konon bisa meningkatkan metabolisme tubuh.

Kalau sawah-sawah di Bali, Lomboh, Jawa sudah asing lagi dengan kedelai, dari manakah bahan baku tempe itu datangnya? Ternyata dari Amerika Serikat, negeri yang dulu ikut jadi sasaran ganyang. Sebagian besar kedelai diimpor dari negeri kapitalis itu. Pedagang tempe langganan saya, Haji Mahmud, tak tahu kenyataan itu. "Wah, saya jadi malu, dulu pernah ikut memboikot produk Amerika atas anjuran seorang ulama", ujar Pak Haji.

Yang lebih malu lagi seorang profesor pertanian di Universitas Udayana. Profesor ini heran, bukan hanya satelit, komputer dan mobil yang diimpor, produk pertanian seperti kedelai, beras, gula juga diimpor. Lalu sawah-sawah Indonesia ditanami apa? Pemerintah tak pernah punya kebijakan yang membela para petani. Sawah-sawah dibiarkan setengah telantar, negeri agraris sudah tinggal nama saja. Pada saat negeri ini digoyang masalah tempe, langkah pemerintah hanya jangka pendek, menurunkan bea masuk kedelai impor sampai nol persen. Tak ada yang berpikir untuk kembali berswasembada kedelai, minimal menganjurkan menanam kedelai.

Jadi, kalau sekarang Anda makan tempe dan tahu, itu artinya Anda menguntungkan petani Amerika. Slogan di masa lalu, "Jangan jadi Bangsa Tempe" sudah sepatutnya diganti menjadi "Jadilah Bangsa Tempe", artinya tirulah kemajuan Amerika. Entahlah, apa negeri itu yang terus-menerus melesat maju, atau negeri kita yang semakin amburadul.

Tidak ada komentar: